Langsung ke konten utama

Pendakian Di Era New Normal

Oleh 
Ayatullah Humaedi 

Kali ini saya dan kawan-kawan pergi ke salah satu gunung yang terletak di samping gunung rinjani, tempatnya di Tete Batu Kabupaten Lombok Timur NTB, namanya Bukit Sangkareang yang ketinggian mencapai 3.200 Mdpl (Meter di atas permukaan laut), hampir sama ketinggiannya dengan gunung tertinggi NTB (Rinjani 3726 Mdpl). Hanya berbeda beberapa ratus saja. Nama gunung ini mirip sekali dengan salah satu Taman di kota Mataram yaitu Taman sangkareang, saya tidak tau percis apa arti dari gunung sangkareang ini, atau mungkin ada kaitannya dengan taman sangkareang yang terletak di kota Mataram, tapi  entahlah saya tidak ingin memuatnya dalam catatan ini.

Pada hari minggu lalu saya dan kawan-kawan bergegas dari rumah pada pukul 19:00 menuju Lombok Timur, di sana ada kawan yang sudah siap untuk menampung kita sebelum pendakian di mulai, kawan lama waktu pertama kali naik sangkareang dulu pada tahun 2017 lalu namanya Man, kita samapai di rumah Man seorang sahabat baik yang kita kenal di sana, tiba-tiba jarum jam sudah pukul 22:45 hampir tengah malam karena dengan pedesaan yang masih sepi penduduknya tidak seperti kota-kota yang padat dengan atap-atap.

Samapai di depan pintu masuk rumah Man kita mengucap salam di sambut baik oleh ibu , bapak dan di suguhkan tikar dan kopi hangat untuk tubuh yang kian kedinginan di jalanan, kita tersipu malu mengucap maap karena datang terlambat yang mestinya kita harus tiba sebelum adzan isa berkumandang, tapi kebiasaan kita setiap mendaki adalah saling tunggu tidak ada yang menghargai waktu, jarum jam sudah tertuju pada angka 12:00 menandakan bahwa hari akan berganti kita butuh istirahat persiapan untuk fisik pendakian pada esok pagi, sebagian kawan sudah istirahat tertidur lelap tapi ada kawan-kawan yang masih seperti kelelawar tidak bisa tidur atau tidak mau memejamkan matanya.

Mentari kembali menyapa tubuh masuk lewat lorong jendela kamar memberikan energi vitamin C, kami bergegas menyiapkan sarapan pagi sebelum berangkat ke basecamp pendakian Bukit Sangkareang dengan lauk pauk yang sederhana tapi memberikan sejuta kenikmatan, tanpa basa basi tanpa mandi dan gosok gigi kami pamit pada ibu, bapak dan man untuk bersiap melakukan pendakian, karena jam sudah pukul 8:32 tapi sebenarnya kita tidak ingin jalan dengan tergesa gesa sebab yang tergesa-gesa ada saja barang yang selalu lupa untuk dibawa, setiba sampe di tempat parkir kawan-kawan menemukan petugas yang berjaga dengan seragam polhut  lengkap topi dan lain sebagainya, kita akhirnya memutuskan untuk kembali mencari jalur lain untuk melakukan pendakian sebab jika kembali kerumah adalah sia-sia karena takut kawan saya yang satu jauh-jauh ngebolang kelombok hanya ingin melihat cantik dan megahnya Rinjani meski lewat puncak sangkareang yang hanya berketinggian 3.200 Mdpl itu, tapi paling tidak kita tidak membuatnya kecewa sebab kekecewaan adalah hal yang paling perih dalam hati setelah perjanjian di sepakti , dan kita memutuskan untuk lewat jalur tengah yang kebetulan jalur baru yang beberapa bulan yang lalu di buka oleh salah seorang pemuda setempat, katanya ini jalur amaan tidak mungkin ada petugas karena jalur ini belum mereka tau pungkasnya, kita sempat menceritakan kejadian tersebut padanya tapi mereka menjamin keamanan dan ketentraman untuk pendakian lewat jalur ini sampai kawan-kawanpun percaya diri dan sepakat untuk mendaki lewat jalur Tengah. 

Pendakian dilmuali tepat pada tanggal 6 juli sampe 7 juli karena estimasi waktu yang di butuhkan untuk menyapa puncak Sangkareang hanya membutuhkan 2 Hari 1 malam, meski jalan yang di tempuhnya adalah hutan belantara yang lebat dengan kabut yang pekat dan tanjakan jalan yang licin, tapi semangat tetap seperti matahari yang panas ketika tubuh dibakarnya, ketika mengusir kabut-kbaut lebat, begitulah semangat mereka untuk menuju puncak, sangkareang dengan jalan yang berhutan dari awal pendakian sampe area percampingan tidak ada matahari yang menyapa dalam perjalanan yang terdengar riuh hanya angin dan kicauan burung, naaah bagi pendaki yang takut dengan sinar matahari ini adalah bukit terbaik untuk kalian singgahi tanpa sedikit takut luntur hiasan-hiasan wajah cantik , tapi setelah beberapa tahun lalu sampe sekarang sangkareang belum juga punya pos atau tanda-tanda yang biasa para pendaki untuk singgah selekas lelah, yang biasanya setiap gunung punya persinggahan untuk berlabuh melepas badan yang pengah semoga tahun depan ada dan terealisasi amiiin. 

Di tengah perjalanan kami dan kawan-kawan menemukan peristiwa-peristiwa penting tentang kekayaan alam Indonesia yang memanjakan mata ketika di pandang, selain mendapatkan kawan dalam perjumpaan yang tiba-tiba ketika dalam pendakian, tapi terkadang banyak orang yang bertanya apa sih yang kalian dapatkan ketika mendaki? Tidak semua pertanyaan harus dijawab, kadang cinta juga harus dirasakan baru sang pecinta bisa merasakan apa yang mereka kerjakan , menemukan segalanya jika mereka sudah berada pada posisi yang ternyaman selekas itu mereka paham bahwa hal yang mereka bayangkan tidak punya manfaat hanya lelah yang di suguhkan, mereka baru sadar bahwa segala sesuatu yang di ciptakan Tuhan pasti ada manfaatnya dan selama sesuatu yang dikerjakan tidak mengganggu kenyaman orang lain itu masih bersifat kebenaran yang nisbi karena hakikatnya kebenaran hanya milik yang maha benar, kalo bisa saya pinjam kalimat bijak yang diungkap oleh seorang Kawan Helmi Yusup "segala sesuatu butuh dicoba, bukan di terka-terka lalu menyimpulkan dengan kebenaran yang egosintonik lewat berita-berita orang lain".

Angin terus berhembus kicauan burung terus menerus terdengar, kabut tetap turun menusuk tulang rusuk, senjapun mulai redup di ufuk barat memunculkan merah jingga yang mempesona pada siapa saja yang mengagguminya, hari semakin gelap tidak ada lentera yang menyala kecuali sinar rembulan di tengah kegelapan dan hutan mulai beraksi memberi dingin tubuh yang tak kuat melawan, kami dan kawan-kawan bersiap mencari lighting di dalam tas sebagai penerang jalan yang penuh dengan jurang-jurang tapi yang ditemukan hanya 2 sedang kami berjalan dengan 6 orang terpaksa senter hp solusinya, tapi kita tetap berjalan karena area camping 20 menit segera tiba bergegas memasak dan merebus air untuk tubuh yang kedinginan di hempas angin dan kabut lebat, berjalan pelan akhirnya kita sampai pada penghujun perjalanan yang sudah sangat lama kita nantikan setelah berjam-jam melakukan pendakian dengan tubuh lelah dan hati berdenyut pelan, kita mendirikan tenda, memasak, merebus air dan memberi tawa sebagai rasa lelah.

Komentar